II . KOSUDGAMA Membangkitkan Ekonomi Kerakyatan
Koperasi Serba Usaha Dosen Gadjah Mada (Kosudgama) berdiri sebagai badan hukum tanggal 31 Maret 1982 dan berkantor di satu rumah dinas milik UGM di Bulaksumur A-14, yang sampai sekarang tetap menjadi kantor pusatnya, meskipun sudah berubah wajah menjadi pusat bisnis dengan toko swalayan, apotik, dan warung telepon untuk umum. Salah satu kemajuan Kosudgama yang patut disebut adalah bahwa keanggotaannya kini menarik orang-orang di luar UGM sendiri, yaitu pegawai UGM bukan dosen, dan dosen-dosen di luar UGM seperti UPN Veteran, UII, dan sebagainya.Melonjaknya jumlah anggota luar biasa dari hanya 13% tahun 1998 menjadi 68% tahun 2001, atau naik 2200%, memang manakjubkan dan tentu bisa ditanyakan apa faktor penyebabnya. Sebabnya bukan karena mereka semata-mata tertarik SHU atau dividen yang baik karena SHU atau dividen mereka itulah yang justru berhasil mengembangkannya.
Faktor utama mengapa anggota berduyun-duyun masuk adalah karena mereka dengan menjadi anggota merasa kepentingannya terlayani dengan baik, lebih baik dibanding koperasi atau organisasi ekonomi lain selain Kosudgama. Kosudgama adalah organisasi ekonomi yang tepat sekali menggambarkan organisasi kerjasama (gotongroyong) untuk mengangkat derajat dan martabat anggota, dan sekaligus meningkatkan kesejahteraannya melalui kerjasama yang tidak mengejar laba seperti halnya Perseroan Terbatas.
Hal lain yang menarik dari Kosudgama adalah kemajuan pesat usaha-usahanya yang terjadi justru setelah krismon 1997, ketika banyak perusahaan khususnya bank-bank swasta berguguran yang mengakibatkan PHK bagi banyak sarjana-sarjana pegawai bank. Kosudgama sebaliknya selama 1998-2001 mencatat peningkatan nilai pinjaman kepada anggota sebagai berikut:
Pelonjakan nilai pinjaman kepada anggota termasuk anggota luar biasa yang meningkat 7 kali (705%) selama 4 tahun adalah luar biasa, dan perkembangan ini ditambah usaha-usaha lain menghasilkan SHU yang juga melonjak dari hanya Rp 131 juta tahun 1998 menjadi Rp 3,04 milyar tahun 2001. Nilai aset total Kosudgama dengan demikian mengalami peningkatan dari Rp 1,97 milyar tahun 1998 menjadi Rp 22,03 milyar tahun 2001.
Pelajaran apa yang dapat ditarik dari pengalaman keberhasilan Kosudgama?
Pertama, kesungguhan kerja pengurus dan staf serta kesetiaan mereka pada prinsip-prinsip berkoperasi, yaitu bekerjasama dengan ikhlas dan jujur demi kepentingan anggota. Prinsip kerja koperasi untuk melayani dan sekaligus memperjuangkan kepentingan ekonomi anggota adalah penting sekali, dan keberhasilannya merupakan ukuran utama misi organisasi.
Kedua, Kosudgama adalah koperasi perkumpulan orang, bukan organisasi yang dibentuk terutama untuk menghimpun modal. Ketika Kosudgama berdiri tahun 1982 tujuan utama koperasi yang diperjuangkan pengurus adalah mengadakan rumah bagi dosen-dosen muda yang sangat membutuhkan, dan membeli buku-buku ajar (textbook) yang relatif mahal dari luar negeri. Jadi tidak seperti sebuah PT (Perseroan Terbatas) yang mengumpulkan modal saham dari anggota kemudian mencari usaha-usaha yang menguntungkan, koperasi mengenali kebutuhan urgen anggota yang kemudian dibantu untuk memenuhinya.
Prinsip kedua ini terus dipertahankan Kosudgama yaitu dengan tidak membuka usaha-usaha baru hanya karena usaha-usaha itu mendatangkan untung (misalnya berdagang VALAS yang bisa untung besar tetapi bisa pula buntung), tetapi setiap usaha yang dibuka harus merupakan kebutuhan anggota misalnya membangun rumah bagi anggota, membeli mobil atau sepeda motor secara kredit, membuka apotik bagi anggota dan umum, dan yang paling akhir membangun toko swalayan untuk anggota dan umum.
Modal yang dibutuhkan untuk membiayai usaha memang tidak boleh sepenuhnya digantungkan atau berasal dari pihak luar koperasi, tetapi harus berasal dari anggota sendiri, meskipun bisa diangsur sedikit demi sedikit sesuai kemampuan anggota.
III . Koperasi Wadah Ekonomi Rakyat
Ekonomi rakyat yang dapat diperkuat dalam wadah koperasi adalah kegiatan produksi dan konsumsi yang apabila dikerjakan sendiri-sendiri tidak akan berhasil, tetapi melalui organisasi koperasi yang menerima tugas dari anggota untuk memperjuangkannya ternyata dapat berhasil.
Ekonomi Rakyat adalah usaha ekonomi yang tegas-tegas tidak mengejar keuntungan tunai, tetapi dilaksanakan untuk (sekedar) memperoleh pendapatan bagi pemenuhan kebutuhan keluarga secara langsung untuk memenuhi kebutuhan pangan, sandang, papan, dan kebutuhan-kebutuhan keluarga lain dalam arti luas, yang semuanya mendesak dipenuhi dalam rangka pelaksanaan pekerjaan pokok anggota.
Ekonomi Rakyat dalam arti yang lebih luas mencakup kehidupan petani, nelayan, tukang becak dan pedagang kaki lima, yang kepentingan-kepentingan ekonominya selalu dapat lebih mudah dibantu/diperjuangkan melalui koperasi.
Jika banyak orang Indonesia termasuk ilmuwan berpendapat bahwa ekonomi rakyat Indonesia “tidak ada”, atau tidak mempunyai sejarah, maka dasar pendapatnya jelas karena mereka (orang awam maupun ilmuwan) tidak membaca buku-buku sejarah ekonomi Indonesia. Maka kita patut berterimakasih pada Anne Booth penulis buku The Indonesian Economy in the Nineteenth and Twentieth Century: A History of Missed Opportunity (Macmillan & St. Martin’s, 1998) dan Howard Dick dkk., The Emergence of A
Tokoh-tokoh pergerakan kemerdekaan terutama Mohammad Hatta, yang belajar ilmu Ekonomi di Rotterdam, banyak menyoroti nasib buruk ekonomi rakyat yang selalu tertekan oleh pelaku sektor ekonomi modern yang dikuasai investor-investor Belanda, terutama dalam pertanian dan perkebunan, dan dikenal sebagai pertanian rakyat dan perkebunan rakyat (smallholder).
Pertanian dan perkebunan rakyat dengan pemilikan lahan yang sempit, dengan teknologi sederhana dan modal seadanya, sulit berkembang karena merupakan usaha-usaha subsisten. Sebaliknya pertanian dan terutama perkebunan besar yang luasnya puluhan atau ratusan ribu hektar yang menggunakan teknologi unggul dan modal besar dalam memproduksi komoditi ekspor (karet, teh, kelapa sawit, tebu dan tembakau), tidak tertarik bekerjasama dengan usaha-usaha ekonomi rakyat. Mereka, perkebunan besar, bahkan khawatir rakyat “menyaingi” hasil-hasil perkebuan besar karena hasil-hasil perkebunan rakyat dapat jauh lebih murah meskipun mungkin mutunya tidak tinggi.
Demikian karena ekonomi rakyat merupakan kegiatan penduduk pribumi dan usaha-usaha besar merupakan milik pengusaha-pengusaha Belanda atau pengusaha asing lain dari Eropa, maka para pemimpin pergerakan seperti Hatta, Syahrir, dan Soekarno, selalu memihak pada ekonomi rakyat dan berusaha membantu dan memikirkan upaya-upaya untuk memajukannya.
Ekonomi rakyat sebagai mata pencaharian sebagian besar rakyat (rakyat banyak) memiliki daya tahan tinggi terhadap ancaman dan goncangan-goncangan harga internasional. Pada saat terjadi depresi pada tahun 20-an dan 30-an ketika perkebunan-perkebunan besar Belanda merugi karena anjlognya harga ekspor, justru perkebunan rakyat menikmatinya.
Karena dalam ekonomi rakyat pemisahan atau pemilahan faktor-faktor produksi ini tidak dapat dilakukan maka pakar-pakar ekonomi “tidak berdaya” melakukan analisis-analisis ekonomi.
sumber: http://www.ekonomirakyat.org/edisi_6/artikel_3.htm
Tidak ada komentar:
Posting Komentar